Rasulullah Merindukan Umat Akhir Zaman
Saat itu ia mengumandangkan Adzan yang begitu merdu. Berbeda dengan adzan yang dikumandangkannya pada saat awal pengangkatannya sebagai muadzin masjid nabawi sesaat setelah selesai dibangun. Suaranya kali ini terdengar begitu Indah, merdu, nyaring. Dan membuat orang di seantero pasar Madinah kala itu tertegun.
Barang dagangan segera ditinggalkan untuk memenuhi panggilan Adzan itu. Sontak seluruh warga madinah membanjiri halaman masjid. Mereka melihat di puncak menara bangunan persegi sederhana itu ada sesosok manusia berkulit hitam, yang konon dahulu ia adalah budak yang dibeli oleh Abu bakar dari Abu Jahl.
Ia adalah Bilal Bin Rabah yang didaulat oleh Nabi Muhammad saw sebagai Muadzin Masjid Nabawi di Madinah. Dan tugasnya adalah mengumandangkan Adzan saat memasuki waktu Shalat. Sebenarnya Adzan pada saat itu tidak hanya digunakan untuk panggilan shalat saja. Tetapi Adzan kala itu adalah digunakan pula sebagai sarana untuk memanggil para penduduk agar datang ke masjid walaupun bukan waktu shalat. Seperti pada waktu Rasululla mengumpulkan para sahabat dan penduduk madinah saat mengumumkan perang badar.
Adzan kali ini memang berbeda. Suara Bilal kian merdu, itu bertepatan dengan 9 hari sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Saat haji Wada’ itu, turunlah firman Allah SWT ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nitmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS.al-Maidah:3). Sejak itu tanda-tanda kesedihan dari diri manusia mulia itu telah tampak. Para sahabatpun menangkap Isyarat dari ayat yang turun itu. Terlebih Abu Bakar yang perasaannya begitu sensitif. Dia menangis sesenggukan dihadapan Orang yang begiru ia cintai. Bersabdalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadanya “Apa yg membuatmu menangis dalam ayat tersebut?”
Abu Bakar menjawab:” Ini adalah berita kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.”
Benarlah firasat Abu Bakar, hari demi hari, Rasulullah semakin menampakkan sakit beliau. Abu bakar selalu ingin berada di dekat Rasulullah. Dan pada suatu hari, Sekembalinya Rasulullah dari haji Wada’ kurang dari tujuh hari wafat beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, turunlah ayat al-Qur’an paling akhir yg artinya: “Dan peliharalah dirimu dari (azab yg terjadi pada) hari yg pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yg sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS.al-Baqarah:281).
Hari itu seketika beliau menyatakan keinginannya untuk ziarah ke makam para syuhada uhud. Keesokan paginya Beliau pergi ke lokasi makam dengan ditemani beberapa sahabat beliau termasuk Abu Bakr. Sesampainya beliau di makam para syuhada uhud beliau berdiri di tepi makam para sahabatnya yang begitu beliau cintai itu.
Rasulullah berkata “Assalamu’alaykum ya syuhada uhud, Kalian telah lebih dahulu dan kami akan menyusul kalian, dan kami Insya Allah akan bertemu kalian dalam perjalanan pulang”.
Sekian lama beliau berdiri di tepi makam, Hatinya yang lembut itu meleleh dan bergetar. Entah kapan hal itu terjadi tiba tiba saja pipi putihnya basah oleh air mata. Rasul SAW menangis, para sahabat kaget dan kemudian bertanya tentang sebab tangisannya.
Suasana di majelis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Sayyidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan sedemikian.
Seulas senyuman yang sedia terukir di bibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna.
“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Sayyidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut pikiran.
“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan),” suara Rasulullah bernada rendah.
“Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.
Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersuara,
“Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka.”
**
Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ Baginda:
“Siapakah yang paling ajaib imannya?” tanya Rasulullah.
“Malaikat,” jawab sahabat.
“Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa dekat dengan Allah,” jelas Rasulullah.
Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, “Para nabi.”
“Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka.”
“Mungkin kami,” celah seorang sahabat.
“Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian,” pintas Rasulullah menyangkal hujjah sahabatnya itu.
“Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui,” jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.
“Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Qur’an dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku,” jelas Rasulullah.
“Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka,” ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.
Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan beramal dengan sunnahnya.
Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah kita. Pada kita yang bersungguh-sungguh mau menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah saw.
Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma’in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar